Rabu, 06 April 2011

AHMAD HASSAN: ULAMA NASIONAL YANG SERBA BISA, MANDIRI, TEGAS DAN GIGIH BERDAKWAH

Oleh: Ahmad Hizbullah (Voa-Islam.com)



Perkembangan Islam nusantara pada paruh pertama abad XX merupakan zaman pergolakan pemikiran dengan semangat memurnikan ajaran Islam sesuai Al-Qur’an dan Sunnah. Pergolakan ini menjelma dalam bentuk gerakan sosial keagamaan seperti Muhammadiyah, Persatuan Islam dan Al-Irsyad. Dalam gerakan-gerakan itu, sosok Ahmad Hassan tidak mungkin dilewatkan karena perannya yang begitu besar dan pengaruhnya yang begitu luas melewati batas organisasi.



Posisi Ahmad Hassan dalam pertarungan pemikiran Islam itu ditunjukkan lewat tulisannya yang tajam dan tegas di berbagai risalah, buku, dan majalah. Di samping itu, ia juga dikenal sebagai ahli debat yang ulung dalam menggugurkan argumentasi lawan-lawannya. Kontribusi Ahmad Hassan dan murid-muridnya yang menjadi tokoh Persatuan Islam, seperti Muhammad Natsir dan Isa Anshari.



Di kalangan pecinta buku-buku islami, Ahmad Hassan lebih akrab dengan nama singkat A Hassan, karena nama inilah yang dicantumkan dalam puluhan kitab yang ditulisnya. Ia dikenal pula dengan panggilan akrab Hassan Bandung karena lama tinggal di Bandung, atau Hassan Bangil karena mendirikan Pesantren di Bangil, Jawa Timur.



A Hassan lahir pada tahun 1887 di Singapura dengan nama kecilnya Hassan Bin Ahmad. Ayahnya bernama Ahmad seorang pedagang, pengarang dan wartawan terkenal di Singapura. Ia menjadi pemimpin redaksi surat khabar “Nurul Islam†yang terbit di Singapura. Sedangkan ibunya, Hajjah Muznah berasal dari Palekat, Madras India dan mempunyai asal-usul dari Mesir, tetapi lahir di Surabaya.



Dalam lingkungan perniagaan dan kewartawanan ayahnya itulah A Hassan dilahir dan dibesarkan. Sebagai anak laki-laki, sang ayah berharap apabila besar nanti A Hassan menjadi seorang penulis seperti dirinya. Untuk itu, dia berusaha memberi pendidikan yang terbaik kepada A Hassan.



Suatu keistimewaan yang dianugerahkan Allah SWT kepada Hassan, dalam usia 7 tahun, dia sudah mempelajari Al-Quran dan dasar-dasar pengetahuan agama. Berkat ketekunan dan kecerdasannya, kedua pelajaran ini dapat diselesaikannya dalam tempo dua tahun.



Selepas itu Hassan masuk sekolah Melayu selama 4 tahun dan mempelajari bahasa Arab, bahasa Melayu, bahasa Tamil dan bahasa Inggris. Hassan tidak sempat menamatkan sekolah dasarnya diSingapura , tetapi dia sudah mulai bekerja pada usianya 12 tahun. Dia bekerja di sebuah kedai kepunyaan iparnya Sulaiman. Hassan mempelajari ilmu nahwu dan sharaf pada Muhammad Thaib, seorang guru terkenal di Minto Road atau juga terkenal Kampung Rokoh. Demi semangat dan cintanya kepada ilmu, Hassan menerima persyaratan dari gurunya, yakni datang belajar pagi sebelum subuh dan tidak boleh naik kenderaanketika datang mengaji.



Setelah beberapa lama belajar Nahwu-sharaf, lalu Hassan memperdalam bahasa Arab kepada Said Abdullah Al-Munawi Al-Manusili selama beberapa tahun. Di samping itu, Hassan juga memperdalam agama dengan Abdul Lathif (guru yang terkenal di Melaka dan Singapura), Haji Hassan (Syeikh dari Malabar) dan Syeikh Ibrahim India. Semua proses belajar seperti ini ditekuni oleh Hassan dengan penuh dedikasi hingga tahun 1910 ketika Hassan berusia 23 tahun.



Meskipun ketekunannya dalam menuntut ilmu begitu tinggi, di luar waktu belajar, Hassan juga mempunyai keterampilannya tersendiri mengasah bakat dalam bidang bertenun dan pertukangan kayu. Dia juga sempat membantu ayahnya di percetakan, menjadi pelayan di kedai perniagaan permata, minyak wangi, dan sebagainya malah pernah bekerja di Jeddah Pilgrim’s Office, sebuah pejabat urusan jemaah haji.



Setelah menyelesaikan proses belajar hingga tahun 1910, Hassan mula mengabdikan diri sebagai guru. Sementara di Madrasah untuk orang-orang India di beberapa tempat, antaranya di Arab Street, Baghdad Street dan Geylang di Singapura.



Keinginan ayahnya untuk melihat Hassan menjadi penulis mulai menampakkan hasilnya apabila Hassan mulai menunjukkan kecenderungannya ke bidang tersebut dalam usia masih muda. Pada tahun 1912-1913, dia membantu Utusan Melayu yang diterbitkan diSingapura pimpinan Inche Hamid dan Sa’dullah Khan.



Hassan banyak menulis tentang agama yang berupa nasihat, anjuran berbuat baik dan mencegah kejahatan. Ia juga menyoroti berbagai persoalan yang berkembang dalam bentuk ‘syair’. Tulisannya banyak mengandungi kritikan masyarakat demi untuk kemajuan Islam. Dan tema tulisan sedemikian itulah yang banyak mewarnai hasil karyanya di masa-masa berikutnya.



Ulama Tegas dengan Prinsip Mandiri, Berdiri Tegak di Atas Kaki Sendiri



Selain dikenal sebagai ulama terkemuka di Indonesia, nama A Hassan juga tersohor sampai ke Malaysia dan Singapura, karena nama besar Pesantren Persis yang didirikannya terkenal sampai ke sana. Bahkan buku-buku agama yang ditulisnya kerap jadi rujukan di negeri jiran tersebut.



A Hassan dikenal sebagai ulama pembaharu. Pikiran-pikirannya sangat tajam dan kritis terutama dalam cara memahami nas (teks) Al-Qur’an maupun Hadits yang cenderung literalis. Walaupun dikenal sebagai pemuka dan guru besar Persatuan Islam (PERSIS) pendapat dan sikapnya terhadap takhayul, bid’ah dan churafat (TBC) bisa dikatakan sama persis dengan Muhammadiyah. Oleh karena itu, ada pula sebagian besar warga persyarikatan Muhammadiyah mengutip pendapat dari A Hassan, karena dianggap jelas dan tidak bertele-tele.



Keahliannya dalam bidang Hadits, Tafsir, Fiqih, Ushul Fiqih, Ilmu Kalam dan Mantiq, menjadikannya sebagai rujukan para penanya dan pemerhati kajian Islam dalam berbagai masalah. Koleksi bukunya sangat banyak yang selalu dibaca, diteliti, bahkan mungkin dihafal olehnya.



A Hassan juga dikenal sebagai ulama yang mempunyai prinsip berdiri tegak di atas kaki sendiri yang merupakan hasil pendidikan langsung dari orang tuanya. Artinya tidak pernah mengharapkan bantuan orang lain dan selalu berusaha dengan tangan sendiri dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.



Hal ini terlihat ketika A Hassan masih remaja, ia pernah menjadi buruh di toko kain, berdagang permata, minyak wangi, vulkanisir ban mobil, menjadi guru bahasa Melayu, bahasa Arab, guru agama, menulis opini dan karangan dalam majalah ataupun surat kabar, baik yang ada di Singapura dan Indonesia.



Salah satu tulisannya yang dianggap kritis saat itu ialah kritikannya terhadap Tuan Qadhi (Hakim Agama) yang memeriksa perkara dengan mencampurkan tempat duduk pria dan wanita (ikhtilath). Saat itu merupakan tindakan yang dianggap luar biasa mengingat Qadhi (Hakim Agama) memiliki kedudukan yang tinggi sehingga tidak ada yang berani mengkritiknya. Itulah tulisan A Hassan yang pertama kalinya.



Dalam profesinya sebagai pengarang dan penulis, Hassan juga pernah membuat cerita humor yang berjudul ’Tertawa’ dan diterbitkan dalam empat jilid.



Pada tahun 1909, dalam usia yang masih relatif muda, A Hassan aktif menjadi asisten “Utusan Melayu.†Ia aktif memberi ceramah. Pidatonya tentang kemunduran umat Islam dianggap terlalu politis sehingga ia dilarang untuk berpidato di muka umum.



Pada tahun 1921, A Hassan pindah dari Singapura ke Surabaya. Awalnya ia berdagang tetapi mengalami kerugian dan kembali ke profesi awalnya sebagai tukang vulkanisir ban mobil. Sambil berwiraswasta, ia menjalin persahabatan dengan beberapa tokoh Syarikat Islam. Di antaranya, HOS Cokroaminoto, AM Sangaji, H Agus Salim dan lain-lain. Sambutan hangat ditunjukkan kepada A Hassan karena kepiawaiannya dalam ilmu Agama dan jiwa pejuang yang dimilikinya.



Ia juga pernah belajar tenun di Kediri, tetapi tidak memuaskannya, sehingga pada tahun 1925 ia pindah ke Bandung dan mendapat ijazah menenun di Kota Bandung. Di kota inilah ia berkenalan dengan para saudagar PERSIS, antara lain, Asyari, Tamim, Zamzam dan lain-lain. Dari perkenalan inilah A Hassan sering diundang untuk ceramah dan memberikan pelajaran pada pengajian-pengajian jamaah PERSIS. Dengan metode dakwahnya dan kepribadiannya serta pengetahuannya yang luas, jamaah PERSIS tertarik dengan A Hassan sehingga ia dikukuhkan sebagaiguru dan tokoh PERSIS. Hal inilah yang membuat ia membatalkan untuk kembali ke Surabaya.



Di Bandung selain aktif sebagai guru PERSIS, ia memberi kursus/privat kepada pelajar-pelajar didikan Barat, bertabligh setiap minggu, menyusun berbagai karangan pada berbagai majalah.



Debat A Hassan Kontra Ahmadiyah



Sejak awal A Hassan yang ahli debat itu sangat menetang Ahmadiyah, sebab ajarannya menyeleweng dari ajaran Islam. Penyelewengannya yang terutama adalah pengakuannya terhadap Murza Gulam Ahmad sebagai nabi setelah Nabi Muhammad SAW, dan mengaku adanya kitab suci setelah Al-Quran, yaitu Tadzkirah yang diturunkan kepada Murza Gulam Ahmad. Inilah penyelewengan yang sangat fatal. Bila mengaku ada nabi lagi setelah Nabi Muhammad Saw dan ada kitab suci setelah Al-Quran, kelompok itu jelas keluar dari Islam, tidak termasuk golongan muslim.



Maka pada tahun 1930-an, Tuan Hassan melakukan perdebatan dengan tokoh Ahmadiyah Indonesia, Abubakar Ayyub.



Dalam perdebatan itu, A Hassan mengemukakan sebuah “hadits†yang berbunyi: “Di hari Rasulullah SAW meninggal, bumi berteriak, katanya: “Ya Allah, apakah badanku ini akan Engkau kosongkan daripada diinjak oleh kaki-kaki nabi sampai hari kiamat?†Maka Allah berfirman kepada bumi itu: “Aku akan jadikan di atas badanmu manusia yang hatinya seperti nabi-nabi.â€



Abubakar Ayyub lalu menanyakan tentang riwayat hadits ini. Maka A Hassan menjawab tidak tahu, sambil berkata: “Apakah tuan suka hadits ini? Bila tuan suka silakan pakai, bila tidak silakan tolak.â€



Abubakar Ayyub pun menolak “hadits†yang disampaikan oleh A Hassan itu, karena tidak jelas siapa perawinya, dari mana diambilnya, dan di kitab apa tertulisnya. Pengikut Ahmadiyah yang hadir ketika itu bersorak, merasa bangga dengan tokohnya yang akan menang berdebat dengan waktu singkat, sebab A Hassan tidak bisa menerangkan riwayat hadits yang dibacanya. Para penonton dari kalangan Ahmadiyah bersorak, dan Ayyub pun merasa dirinya menang.



Namun kemudian A Hassan membuat kejutan. Ia mengatakan bahwa hadits itu terdapat di kitab Mirza, Tuhfah Baghdad halaman 11. Seketika, para pengikut Ahmadiyah diam seribu bahasa.



Maka A Hassan meminta kepada Abubakar Ayyub agar bertanya kepada nabinya (Mirza) tentang riwayat hadits itu dan dari mana diambilnya, serta tanyakan pula, bagaimana bumi bisa bicara kepada manusia, sebab hadits itu bukan hadits nabi, mengingat bumi berteriak setelah Rasulullah wafat. Jadi, tegas A Hassan, tentu ada orang lain yang mendengar omongan bumi, dan jawaban Allah itu pun orang lain yang mendengar. Siapa dia? Tanyakan kepada “nabi†Mirza.



Abubakar Ayub yang ketika itu sudah kalah total tak bisa membantah argumen A Hassan, tetapi ia masih berkelit dengan mengatakan bahwa hadits itu, bisa jadi terdapat dalam kitab “Kanzul Ummi,†masih kitabnya Ahmadiyah, namun ia bahkan melemahkan dirinya dengan mengaku tidak membawa kitab tersebut, jadi tidak bisa dilihat.



Selanjutnya A. Hassan menegaskan bahwa dengan adanya “hadits†itu sudah cukup menunjukkan kepalsuan Mirza. Lagi pula, kata A Hassan, hadits yang dibawakan oleh Mirza itu dengan jelas menyebutkan bahwa nabi (setelah Nabi Muhammad) tidak ada lagi. Yang ada hanya orang-orang yang hatinya seperti nabi.



“Kalau perkataan yang begini terang, tuan mau putar-putar lagi, saya minta diadakan juri. Saya heran, apa sebab Ahmadiyah takut diadakan juri. Juri tidak akan makan orang!†tegas A. Hassan.



Dari perdebatan ini jelas bahwa sebenarnya Abubakar Ayyub tidak memiliki hujjah (dalil) yang kuat untuk membela Mirza Gulam Ahmad sebagai seorang nabi. Meski demikian ia tidak tunduk dan menjadi pengikut Islam yang benar. Ia tetap menjadi pengikut Ahmadiyah. Memang Abubakar Ayyub dikenal sebagai orang yang pandai memutarbalikkan fakta demi untuk mempertahankan keyakinannya kepada Ahmadiyah.



Hal itu terlihat ketika A Hassan tak menyebut rawi hadis dan kitab yang memuatnya, keluarlah ejekan dan cemoohan. Namun kektika A. Hassan menyebutkan bahwa hadis itu tertera di kitab Tuhfah Baghdad terbitan Punjab Press Sialkot, Muharram 1311 H, Abubakar Ayyub dan pengikut Mirza lainnya pucat pasi, tetapi mereka tidak berubah keyakinan, tetap menjadi pengikuti Mirza.



Ulama yang Kritis, Penulis yang Produktif



A Hassan adalah ulama yang sangat produktif dalam menulis. Di antara puluhan buku yang ditulisnya, beberapa yang paling populer adalah: Tafsir Al-Furqan, Soal-Jawab tentang Berbagai Masalah Agama (4 jilid), Kitab Pengajaran Shalat, dan Terjemah Bulughul Maram disertai catatan dari A Hassan.



Pemikiran A Hassan sering dianggap dengan suatu yang agresif, ekstrem, dan puritan, karena karakter pemahaman yang literalis. Hal ini sangat jelas dalam masalah yang berkaitan dengan ibadah, khususnya ibadah mahdhah, ia sama sekali menolak hal yang berbau bid’ah.



Dalam prinsip ijtihad, A Hassan menekankan bahwa ijtihad harus merujuk pada Al-Qur’an dan Hadits yang shahih saja. Implikasinya adalah terpinggirkannya fatwa para kiyai, terutama karena tidak diketahui rujukan nasnya atau bertentangan dengan nas. Kalaupun ada ulama yang dijadikan rujukan itu lebih karena pendapatnya dianggap sesuai dengan nas yang dapat dipertanggungjawabkan.



Konsekuensi dari daya kritisnya, A Hassan sangat menentang taklid (mengikuti pendapat tanpa mengetahui alasannya atau dalil) secara mutlak. Tetapi memperkenankan ittiba’, yaitu mengikuti suatu pendapat yang jelas dalilnya dan diakui kebenarannya.



Dalam beristimbath, A Hassan lebih memegang lafaz (kata) yang lebih jelas (zahir) dalam menyimpulkan hukum. A Hassan berpegang teguh pada zahir nas dan menolak takwil.



Sebagai penulis besar dan ulama yang banyak pergaulan, A Hassan tentu mendapat banyak kiriman surat. Tapi di tengah kesibukannya berdakwah, tabligh dan menulis, A Hassan sangat perhatian terhadap surat-surat yang dikirimkan kepadanya. Hampir-hampir tak ada satu surat pun yang tidak dibalasnya. Kalau surat itu berisi pertanyaan, niscaya dijawabnya dengan jelas dan gamblang. Agaknya, tak pernah A Hassan melalaikan selembar surat pun yang dikirimkan kepadanya, karena kepribadiannya yang tulus dan menghargai pendapat semua orang.



Hijrah ke Bangil Mendirikan Pesantren PERSIS



Setelah tujuh belas tahun berjuang dan berdakwah di Bandung, pada tahun 1941 A Hassan berhijrah ke Bangil, bersama percetakannya untuk bekal hidup. Sebagaimana yang dilakukan semasa di Bandung, di tempat barunya ini A Hassan terus berdakwah melalui penulisan, tabligh, pengajian dan dialog serta perdebatan. Ia terus menulis buku, mencetak dan menerbitkannya sendiri.



Di Bangil, ia mendirikan pesantren PERSIS di samping pesantren putri yang sampai kini dihuni oleh para santri dari berbagai tanah air. Pesantren tersebut dipimpin oleh putra sulungnya Abdul Qadir Hassan. Solidaritas sosial yang sangat tinggi dari sosok ulama ahli debat dan teguh pendirian ini menjadi karisma tersendiri bagi orang-orang yang mengenalnya. Dia sangat memuliakan tamu dan pintunya selalu terbuka lebar bagi siapa saja yang mengunjunginya dengan sambutan yang hangat dan akrab dari tuan rumah.



Akhirnya ulama yang hati-hati dalam agama, kritikus ulung dan memiliki semboyan hidup “Tidak ada penghidupan yang lebih baik dari hidup mengikuti tuntunan agama dan berbuat baik kepada siapapun sekadar bisa dan penuh keikhlasan†itu berpulang ke rahmatullah pada tanggal 10 November 1958 dalam usia 71 tahun. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat kepadanya.



A Hassan telah lama pergi meninggalkan dunia yang fana ini, namun namanya tetap dikenang. Banyak hasil karya peninggalannya yang menjadi amal jariah yang tak terputus kepada tokoh ini. Usianya dibatasi kematiannya, tapi pemikiran dan karya ilmiahnya masih hidup hingga sekarang, melalui kitab-kitab yang ditulisnya, antara lain:



1. Tafsir Al-Furqan,



2. Soal-Jawab (4 jilid),



3. A.B.D. Politik,



4. Adakah Tuhan?



5. Al-Burhan,



6. Al-Fara’id,



7. Al-Hidayah,



8. Al-Hikam,



9. Al-Iman,



10. Al-Jawahir,



11. Al-Manasik,



12. Al-Mazhab,



13. Al-Mukhtar,



14. An-Nubuwwah,



15. Apa Dia Islam?



16. Aqaid,



17. At-Tauhid,



18. Bacaan Sembahyang,



19. Belajar Membaca Huruf Arab,



20. Bibel lawan Bibel,



21. Bulughul Maram,



22. Debat Kebangsaan,



23. Debat Luar Biasa,



24. Debat Riba,



25. Debat Taklid,



26. Debat Talqin,



27. Dosa-dosa Yesus,



28. First Step,



29. Hafalan,



30. Hai Cucuku,



31. Hai Putriku,



32. Halalkah Bermazhab?



33. Is Muhammad a Prophet?



34. Isa dan Agamanya,



35. Isa Disalib?



36. Isra’ Mi’raj,



37. Kamus Persamaan,



38. Kamus Rampaian,



39. Kesopanan Islam,



40. Kesopanan Tinggi,



41. Ketuhanan Yesus,



42. Kitab Riba,



43. Kitab Tajwid,



44. Matan Ajrumiyah,



45. Merebut Kekuasaan,



46. Muhammad Rasul,



47. Nahwu,



48. Pedoman Tahajji,



49. Pemerintahan Islam,



50. Pengajaran Shalat,



51. Pepatah,



52. Perempuan Islam,



53. Qaidah Ibtidaiyah,



54. Ringkasan Islam,



55. Risalah Ahmadiyah,



56. Risalah Hajji,



57. Risalah Jum’at,



58. Risalah Kudung,



59. Special Diction,



60. Surat Yasin,



61. Syair,



62. Talqien,



63. Tertawa,



64. Topeng Dajjal,



65. Wajibkah Zakat?



66. What is Islam, dan masih banyak lagi.



Semoga sekilas catatan hidup Hassan Bandung ini dapat kita ambil iktibar untuk dicontohi, Insya Allah. [a. ahmad Hizbullah/voa-islam.com]



Referensi:



1. Ensiklopedi Tokoh Muhammadiyah, Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah PP Muhammadiyah.



2. Hassan Bandung-Pemikir Islam Radikal, Dr Syafiq A Mughni MA PhD., Penerbit Bina Ilmu Surabaya.



3. Riwayat Hidup A. Hassan, H Tamar Djaja, Penerbit Mutiara, Jakarta.



(Diterbitkan di http://www.voa-islam.org/news/profile/2010/03/16/3920/ahassanulama-nasional-yang-serba-bisamandiritegas-dan-gigih-berdakwah/)

Menyikapi ‘Nabi Palsu’ dan Ahmadiyah

by Syamsuddin Arif
Tahun kesepuluh Hijriah atau 632 Masehi merupakan tahun krisis. Dua orang ‘nabi gadungan’ muncul hampir bersamaan. Bukan secara kebetulan. Tetapi lantaran terbuka kesempatan apabila tersiar berita bahwa Rasulullah jatuh sakit. Maka di negeri Yaman, seorang bernama al-Aswad ibn Ka‘b al-‘Unsi pun memproklamirkan diri sebagai nabi. Lewat pelbagai atraksi seperti menyuruh keledainya bersujud –tentu sesudah dilatihnya, al-Aswad sempat mendapat sejumlah pengikut di Najran dan Sanaa. Ia juga mengklaim didatangi oleh dua malaikat, satu bernama Sahiq, dan satu lagi bernama Syahiq, dengan wahyu berbunyi: “Wal mayisati maysa, wad darisati darsa, yahijjuna ushaba wa furada.” Lantas bagaimana sikap pemerintah kala itu? Gubernur Khalid ibn Sa‘id langsung mengusirnya dari Sanaa. Kemudian Rasulullah mengirim detasemen khusus untuk menumpasnya.
Misi tersebut berhasil, meski berita tewasnya nabi palsu itu baru sampai ke Madinah kira-kira dua minggu setelah Rasulullah wafat (Lihat:Imam at-Thabari,Tarikh ar-Rusul wa l-Muluk, 3:185-187).

Musaylamah ibn Habib adalah orang kedua yang mengklaim dirinya nabi.Sebelumnya ia pernah menyertai rombongan sukunya, Bani Hanifah, yang baru masuk Islam, datang ke Madinah untuk menghadap Rasulullah. Ketika pamit, mereka memberitahu Rasulullah bahwa ada seorang anggota yang tidak ikut masuk tetapi menunggu di luar menjaga unta dan barang-barang bawaan mereka, yaitu Musaylamah. “Dia itu tidak lebih buruk dari kalian,” ujar Rasulullah seraya menyuruh mereka supaya memberikan hadiah yang sama kepadanya. Nah, sabda Rasulullah itulah yang dijadikan modal oleh Musaylamah untuk mengaku dirinya nabi di kemudian hari.

Tiba di Yamamah, kampung halamannya, Musaylamah berlagak dapat wahyu lantas bersajak: “Laqad an‘am Allah ‘ala l-hubla, akhraja minha nasmatan tas‘a, min bayni shifaq wa hasya.” Ia lalu menghalalkan minuman keras (khamr), hubungan seks tanpa nikah (zina) dan sebagainya. Kejadian ini dilaporkan oleh sejarawan Ibn Sa‘d dalam Thabaqat, 1:273 dan Imam at-Thabari dalam Tarikh, 3:138.
Ketika mendengar kondisi kesehatan Rasulullah terus memburuk, Musaylamah semakin berani menyuarakan klaimnya. Ditulisnya sepucuk surat kepada Rasulullah supaya wilayah kenabian dibagi dua saja, separuh untuk nabi orang Quraysh dan separuhnya lagi untuk nabi orang Yamamah –yaitu dirinya. Rasulullah jelas menolak permintaan tersebut dan menjuluki Musaylamah ‘si pembohong’ (al-Kadzdzab). Kepada dua orang suruhan Musaylamah yang membawa surat itu Rasulullah berkata: “Seandainya boleh membunuh utusan (diplomat), niscaya sudah kupenggal kepala kalian berdua (ama w-Allahi law-la anna r-rusul la tuqtalu, la-dharabtu a‘naqakuma)!” Peristiwa ini dituturkan oleh Imam at-Thabari, (Tarikh jilid 3, hlm.146).

Musaylamah dan para pengikutnya berhasil ditumpas habis oleh pasukan kaum Muslimin yang dipimpin Khalid ibn al-Walid tidak lama sesudah Rasulullah wafat (Lihat:al-Baladzuri, Futuh 1:104-106)

Imam at-Thabari memberikan catatan penting yang terjemah Inggrisnya berbunyi: “It is said that the pretension of Musaylamah and of those who falsely alleged prophethood during the time of the Prophet [Muhammad saw] actually took place after the Prophet had returned from his ‘Farewell Pilgrimage’ and during the illness in which he died. … When the Prophet returned to Medina after performing the Final Pilgrimage, he began to have a complaint of illness. As travel was allowed, the news of the Prophet’s illness spread, so both al-Aswad and Musaylamah leapt at [the opportunity and claimed prophethood for themselves], the former in the Yemen and the latter in al-Yamamah, and their news reached the Prophet. After the Prophet had recovered, Thulayhah leapt at [the opportunity and claimed prophethood] in the land of the Banu Asad. Then in Muharram the Prophet complained of the pain from which he died.” (The History of al-Tabari, vol. IX – the Last Years of the Prophet, trans. with notes by Ismail K. Poonawala, New York 1990, hlm.107-108 = teks Arabnya dalam kitab Tarikh jilid 3, hlm.146-147).

Kemunculan dua orang nabi gadungan itu sebenarnya sudah diisyaratkan kepada Rasulullah. Dalam sebuah riwayat disebutkan pernah suatu kali Rasulullah bermimpi melihat dua gelang emas diletakkan di atas telapak tangannya. Lama-kelamaan dua gelang emas itu tampak semakin membesar. Kemudian beliau mendengar suara berkata: ‘Tiuplah mereka!’Maka dengan satu tiupan dua gelang emas itupun sirna.‘Aku takwilkan mimpi tersebut sebagai dua orang penipu yang mengapit keberadaanku, yaitu penguasa Sanaa dan pemimpin Yamamah.’Demikian diceritakan Imam al-Bukhari sebagaimana dikutip oleh Ibn Katsir dalam kitab al-Bidayah wa n-Nihayah, juz 5, hlm.45-46.

Orang ketiga yang mengaku dirinya nabi ialah Thulayhah ibn Khuwaylid al-Asadi. Seperti halnya Musaylamah, ia pun awalnya seorang muslim, tetapi kemudian murtad dan menabikan diri. Rasulullah mengirim Dhirar ibn al-Azwar untuk memerangi nabi gadungan itu, namun belum berhasil sampai wafatnya. Di kemudian hari, tatkala sudah dikepung oleh pasukan Muslim, Thulayhah masih berlagak mendapat wahyu. “Telah datang Jibril kepadaku dan berbisik: (inna laka raha ka-rahahu, wa yawma la tansahu),” serunya. Sadar bahwa ia dan pengikutnya tak mungkin menang, Thulayhah pun akhirnya menyerah. Setelah ditangkap dan dibawa menghadap Khalifah Abu Bakr ra, ia pun bertobat dan kembali kepada Islam. Thulayhah tewas dalam sebuah pertempuran di Nahawand (Lihat: Imam at-Thabari, Tarikh, 3:186 dan Ibn al-Atsir, Usud al-Ghabah 3:95).

Masih di zaman Khalifah Abu Bakar, muncul di wilayah Oman seorang nabi palsu bernama Dzut-Taj Laqith ibn Malik al-Azdi. Terhadapnya Khalifah Abu Bakr ra bertindak tegas. Satu divisi tentara dikirim untuk membasmi aliran sesat itu dan membekuk kepalanya (Lihat Ibn Katsir, al-Bidayah wa n-Nihayah, 6:329).
Lalu pada zaman pemerintahan Abdul Malik ibn Marwan, seorang bernama al-Harits ibn Sa‘id mengaku nabi. Mereka yang terpukau oleh aksi-aksi anehnya lalu ikut dan berbai‘at setia kepadanya. Namun berita mengenainya sampai juga kepada Khalifah. Maka diutuslah beberapa orang untuk meringkusnya. Setelah beberapa lama buron di kawasan Baitul Maqdis, Yerusalem, nabi gadungan itu akhirnya berhasil ditangkap. Ia kemudian dibawa menghadap Khalifah di Damaskus dan disuruh bertobat tetapi bersikukuh menolak. Al-Harits akhirnya dijatuhi hukuman mati dan disalib (Lihat: Ibn ‘Asakir, Tahdzib Tarikh Dimasyq, 3:442-5).
Ada beberapa poin yang dapat kita petik dari fakta dan data historis di atas. Pertama, nabi-nabi palsu baru muncul pada tahun terakhir menjelang Rasulullah wafat dan setelahnya. Yakni tatkala Umat Islam diliputi kegalauan apabila Rasulullah mulai sakit-sakitan dan akhirnya meninggal dunia pada tahun itu juga. Kemudian menyusul kekecohan singkat seputar suksesi kepemimpinan hingga terpilihnya Abu Bakr sebagai Khalifah.
Kedua, gerakan nabi-nabi gadungan itu tidak semua dan tidak melulu berkelindan dengan upaya menggembosi kedaulatan Rasulullah dan Khalifah sesudahnya. Kalaupun betul Musaylamah menggalang kekuatan militer untuk melawan pasukan Muslim, maka hal itu dikarenakan ambisi politik pribadinya. Musaylamah keliru menyangka Rasulullah memperjuangkan Islam demi kekuasaan. Musaylamah tidak mengerti kalau hakikatnya justru sebaliknya: Rasulullah menggunakan politik untuk kepentingan agama, bukan seperti dirinya yang menggunakan agama untuk politik. Sebab itulah Musaylamah kemudian mengaku nabi dengan harapan mendapat dukungan politik dari penduduk Yamamah.
Jadi bagi Rasulullah dan para Khalifahnya, memerangi kemurtadan adalah aksi yang lebih bersifat teologis (melawan kebatilan) ketimbang politik (menumpas pemberontakan).
Maka nabi-nabi palsu yang tidak membangun kekuatan militer –semisal al-Aswad, Thulayhah dan Laqith– pun diperangi juga.
Ketiga, ada yang lugu bertanya: mengapa setelah menerima surat dari Musaylamah yang mengaku nabi, Rasulullah tidak lantas menyuruhnya keluar dari Islam dan mendirikan agama baru? Tentu saja tidak, sebab dengan menabikan dirinya maka Musaylamah sudah otomatis keluar dari Islam dan bikin agama sendiri. Ini sama dengan bertanya: mengapa Allah tidak menyuruh Iblis keluar dari iman dan mendirikan agama baru? Lha wong Iblis itu dengan aksi membangkang dan sikap angkuhnya itu sudah otomatis keluar dari iman alias kafir dan mempelopori gerakan ingkar Tuhan ingkar Nabi.
Faktanya cukup jelas bagaimana Rasulullah menyikapi para nabi palsu. Beliau tidak hanya mengirim surat balasan seperti: “Dengan Nama Allah Yang Maha Pemurah dan Pengasih. Dari Muhammad Rasulullah, kepada Musaylamah ‘sipenipu’. Keselamatan bagi mereka yang mengikuti petunjuk. Bumi ini seluruhnya milik Allah yang diberikannya kepada hamba-Nya yang Dia kehendaki. Namun akhirnya bagi orang-orang yang bertakwa. ”Tetapi juga mengirim pasukan khusus untuk menghentikan sepak-terjang nabi gadungan dan para pengikutnya. Disamping menempuh jalan dakwah secara diplomatik dan persuasif, beliau juga melancarkan aksi ofensif dan defensif sesuai situasi dan kondisi.
Dalam hal ini patut kita simak lagi firman Allah dalam al-Qur’an: “Sesungguhnya hukuman bagimereka yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membikin kerusakan di muka bumi adalah dihukum mati atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik , atau diusir dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu merupakan suatu perendahan kepada mereka di dunia, dan di akhirat kelak mereka akan mendapat siksa yang hebat. Kecuali orang-orang yang bertaubat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka, maka (janganlah mereka dihukum). Ketahuilah bahwa Allah itu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (al-Ma’idah’:33-34).
Maka ahli-ahli hukum Islam yang disebut fuqaha sepakat bahwa orang yang murtad (keluar dari Islam) mesti dijatuhi hukuman mati. Ini dikukuhkan oleh sabda Rasulullah yang diriwayatkan Imam an-Nasa’i: “Siapa yang menukar agamanya maka bunuhlah dia (man baddala dinahu fa-uqtuluhu).” Maka tatkala Mu‘adz ibn Jabal berkunjung ke kediaman Abu Musa al-Asy‘ari di Yaman dan melihat seorang Yahudi diikat lantaran masuk Islam tetapi kemudian keluar lagi (murtad), beliau berkata: “Aku tidak akan duduk sebelum orang ini dieksekusi. Demikianlah ketentuan Allah dan RasulNya (la ajlisu hatta yuqtala, qadha’Allahi wa rasulihi).” Pendapat ini yang dipegang antara lain oleh Imam at-Thahawi dan sebagian ulama salaf. Sementara mayoritas ahli fiqih empat mazhab menyatakan perlunya kesempatan terakhir diberikan kepada yang si murtad untuk bertaubat dalam tempo maksimal tiga hari. Dasarnya adalah kebijakan Sayyidina ‘Umar ibn al-Khaththab dan Sayyidina ‘Ali ibn Abi Thalib dalam menangani kasus murtad (Lihat: Ibn Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari, juz 12, hlm.268-272 dan Imam an-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, juz 1, hlm 207).
Ditinjau dari perspektif kaidah fiqh “mencegah kerusakanadalah lebih diutamakan daripada mencari keuntungan” (dar’ al-mafasid muqaddam‘ala jalb al-mashalih).
Gerakan pemurtadan yang dipimpin para nabi palsu pada zaman Rasulullah dan Khalifah Abu Bakr memang niscaya diperangi, karena saat itu kemurtadan bukan sekadar oposisi politik atau identik dengan pemberontakan yang merongrong kedaulatan pemerintah, tetapi juga merupakan makar untuk merobohkan bangunan ajaran Islam.
Membiarkan kemurtadan merajalela –walau atas nama hak asasi manusia– jelas lebih besar mafsadatnya ketimbang maslahatnya. Dan fitnah dalam arti pelecehan agama dan penggusuran hukum-hukum Allah dipandang lebih besar kejahatannya daripada pembunuhan.
Di sinilah pemahaman tentang metodologi hukum Islam mutlak diperlukan dalam menangani pengikut nabi gadungan.
Tegasnya ulama
Tanpa pengetahuan yang mumpuni tentang metodologi hukum Islam, pembelaan terhadap aliran-aliran sesat yang merusak mungkin saja tampak indah dari kacamata hak asasi manusia (HAM), tapi bisa jadi esensinya bertentangan dengan maqashid as- syari‘ah (tujuan-tujuan syariat) yang lebih bersifat universal. Dalam hal ini ditetapkan, prioritas kemaslahatan yang paling tinggi adalah preservasi agama (hifzhud-din), sebagaimana ditegaskan oleh Imam as-Syathibi (dalam kitab al-Muwafaqat 2:8-10), Imam al-Ghazali (dalam kitab al-Mustashfa 1:287), dan Ibn Qudamah (dalam kitab Rawdhat an-Nazhir, 1:414).
Kemaslahatan agama ini berada diatas kemaslahatan nyawa dan harta-benda sekalipun. Makanya, al-Qur’an mewajibkan jihad dengan harta dan nyawa untuk membela agama. Jikalau Jakarta diserang oleh Singapura misalnya, maka umat Islam harus turun berperang meski itu nanti menyebabkan hilangnya nyawa. Jadi nyawapun kadang harus dikorbankan demi membela kemaslahatan tertinggi, yaitu kemaslahatan agama.
Nah, kalau Rasulullah, para Khalifah dan Sahabatnya serta ulama salaf saja begitu jelas dan tegas sikapnya terhadap nabi-nabi gadungan, alangkah lancangnya kaum liberal yang mengaku kader ormas Islam merasa punya hak veto untuk menggugat dengan mendaulat diri mereka sebagai orang-orang yang paling paham mengenai Syari‘at Islam seperti terlihat dari sikap mereka membela jemaah Ahmadiyah.
Di sinilah saya kira umat Islam mesti memilih dalam bersikap, mau mengikuti opini kaum liberal yang keliru atau meneladani sikap Rasulullah dan para pewarisnya. Wallahu a‘lam.
----------------------------------------------------
Penulis pakar orientalis dari International Islamic University (IIU), Malaysia dan peneliti INSISTS. Tulisan ini diturunkan untuk menanggapi tulisan Akhmad Sahal berjudul, "Nabi Palsu, Sikap Nabi, dan Ahmadiyah" di Tempointeraktif, Rabu, 16 Februari 2011
http://www.insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=228:menyikapi-nabi-palsu-dan-ahmadiyah-1-&catid=27:mengenal-ahmadiyah&Itemid=28